Sunday 27 November 2011

Vitalitas Guru Berkarakter


Ol.h JODDI UER1ANA, S.E.
Sebagai guru kita pantas bertanya, keteladanan seperti apa yang akan kita perankan agar pendidikan karakter dapat mewujud dalam kehidupan kita. Kehidupan kita sebagai pribadi sekaligus guru berkarakter yang memimpikan peserta didiknya menjadi manusia-manusia berkaraktere-mail forumguru@pikiran-rakyat.com
SEORANG ilmuwan Muslim abad ke-8 Hijriah Ibnu al-Qa-yim pernah menyampaikan teori mengenai karakter. Menurut Qayim, karakter dibentuk melalui proses bertingkat yang diawali oleh informasi, kemudian informasi mengalami transformasi menjadi keyakinan, lalu membentuk kemauan yang mendorong kepada suatu tindakan.
Jika tindakan tersebut dilakukan secara berulang, jadilah dia kebiasaan. Kebiasaan yang hidup secara konsisten dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama akan mengerak dalam wujud karakter. Ide Al-Ghazali seakan menemukan konteksnya di sini yang menyatakan bahwa ketika karakter (akhlak) ada dalam diri seseorang, dia tidak lagi membutuhkan proses berpikir, karena terjadi secara otomatis dan hasilnya tampak alamiah bukan dibuat-buat (artificial).
Guru sebagai fasilitator pendidikan tentunya memiliki peran yang sangatstrategis dalam merekayasa manusia agar tumbuh menjadi manusia berkarakter. Setidaknya dibutuhkan 3 elemen agar guru dapat memerankan fungsinya sebagai model komponen pendidikan karakter.
Pertama, guru memiliki karakter fisik dengan vitalitas yang baik. Ini bisa terbentuk dengan kesadaran untuk menjaga kebugaran dan menjalankan pola hidup yang sehat. Olah raga merupakan karakter fisiknya. Dia memiliki ruang-waktu untuk menjalankan aktivitas fisik ini. Akan tetapi, jangan dianggap tuntas dengan hanya melakukan rutinitas fisik profesi yang menguras tenaga karena akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan aktivitas fisik yang didorong oleh motivasi mengolah raga. Olah raga secara teratur memberikan kesegaran bagi fisik juga memiliki pengaruh positif terhadap suasana hati.
Kedua, vitalitas intelektual. Membaca menjadi ciri karakternya. Membacatidak dibatasi dalam mang lingkup profesionalnya, tetapi lebih diarahkan kepada pembukaan wawasan yang lebih luas. Mungkin bukan berorientasi menjadi guru multikompetensi. tetapi lebih kepada perolehan keragaman sudut pandang keilmuan.
Kalaupun seorang guru memiliki kewajiban profesi pada bidang tertentu, ketika membaca dia jadikan salah satu karakter hidupnya maka akan semakin kaya pelayanan yang dia berikan kepada anak didiknya. Dengan vitalitas intelektual yang baik, seorang guru dapat mengkreasi sesuatu yang kom-pleks-rumit menjadi sesuatu yang iebih sederhana dan tampak menarik, hal yang secara alamiah disenangi oleh setiap manusia terlebih anak didik.
Ketiga, vitalitas rohani. Meskipun ada pada urutan akhir, tetapi sesungguhnya vitalitas rohani menjadi trigger yang memberikan tenaga dalam pembentukan dua karakter sebelumnya. Kesadaran seorang guru sebagaihamba Tuhan menjadi energi pendorong luar biasa melebihi motivasi apa pun, materi sekalipun.
Seluruh potensinya sebagai guru dia jadikan media penghambaan unggulannya. Karakter ini mewujud dalam bentuk ketaatan yang bersifat vertikal dan kemanfaatan dirinya terhadap alam semesta. Wajah karakter ini adalah keberpihakannya kepada kebaikan yang tcr-pilin dengan kejujuran. Perhatikan sensasi yani; dirasakan jiwa kita ketika bisa merealisasikan suatu kebaikan, mendoakan anak didik kita misalnya.
Mulianya profesi guru merupakan keniscayaan, kelanjutan pilihannya ada di tangan kita para guru, apakah kita akan menjadi guru karakter -maaf- dengan vitalitas alakadarnya atau guru karakter yang berkarakter ? VfixiGuru!!!
Penulis, staf pengajar Mualim-in/MA PPI 113 Izhhaarul Haq Ancol, Garut.

No comments:

Post a Comment