Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa
(2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu
sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Sementara itu, Koesoema A (2007:80) menyatakan bahwa karakter sama
dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri atau
karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan,
misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak
lahir.” Prof. Suyanto, Ph.D menyatakan bahwa karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Imam
Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu
spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu
dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dengan demikian, karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan
identitas bangsa.
Winnie
(yang juga dipahami oleh Ratna Megawangi, 2007) menyampaikan bahwa
istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’
(menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku.
Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama,
ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang
berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut
memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang
berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut
memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character)
apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sementara itu, definisi
karakter menurut Victoria Neufeld & David B. Guralnik (dalam Raka,
2007) adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia
belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang
diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran
dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat.
Thomas
Lickona (1991) – seorang profesor pendidikan dari Cortland University –
mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus
diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, berarti sebuah bangsa
sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah (1)
meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan
kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam
tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5) semakin kaburnya
pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin
rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa
tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya
ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di
antara sesama. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda zaman tersebut
sudah ada di Indonesia.
Pada sisi lain, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara
terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat. Sebab, pada dasarnya, anak
yang berkarakter rendah adalah anak yang tingkat perkembangan
emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko atau berpotensi besar
mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu
mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini
dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah
yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia
prasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Li
Lanqing, seorang politikus dan birokrat Cina yang mempunyai pemahaman
yang komprehensif dan mendalam tentang pendidikan menekankan tentang
bahayanya sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan, drilling,
dan cara mengajar yang kaku, termasuk sistem pendidikan yang
berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian. Sebagai hasilnya, Cina yang
relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya
akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat
mengejar ketertinggalannya dan menjadi negara yang maju. Presiden
Jiang Zemin sendiri pernah mengumpulkan semua anggota Politburo khusus
untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi
sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, dan
pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek kognitif
(intelektual), karakter, aestetika, dan fisik (atletik) (Li, 2005).
Amich Alhumami (Peneliti Sosial, Department of Anthropology University ol Susex, United Kingdom) dalam Media Indonesi (11/1/2010) mengatakan bahwa masyarakat adalah
suatu kumpulan individu yang memiliki karakteristik khas dengan aneka
ragam etnik, ras, budaya, dan agama. Setiap kelompok masyarakat
mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi dalam menjalani
kehidupan pun tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok
masyarakat saling berinteraksi yang memungkinkan terjadinya pertukaran
budaya. Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling
mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain
yang kemudian melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian
antropologi, ada tiga istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi
sosial budaya, yakni sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi. Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan yang lain.
Instrumen
yang relevan untuk menumbuhkan apresiasi atas keanekaragaman budaya,
antara lain melalui mata pelajaran kesusastraan dan kesenian. Sebab,
keduanya merefleksikan dinamika kebudayaan dan menggambarkan kekayaan
khazanah budaya dan aneka jenis kesenian di Nusantara. Di sekolah, semua
siswa dapat mempelajari kesusasteraan Melayu, kesusasteraan Jawa,
kesusasteraan Bugis-Makassar, atau kesusasteraan daerah lain . Mereka
juga dapat mempelajari kesenian Aceh, kesenian Minangkabau, kesenian
Sunda, atau kesenian daerah lain. Dengan mempelajari kesusasteraan dan
kesenian lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat tumbuh
kesadaran kolektif sebagai sesama anak bangsa, meskipun mereka
mempunyai latar belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda,
sehingga pada akhirnya akan memperkuat kohesi sosial dan integrasi
nasional.
Ketiga,
pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat integrasi
sosial politik. Para penganut paham struktural-fungsionalis meyakini
bahwa melalui proses sosialisasi dan enkulturasi, pendidikan memberi
kontribusi besar terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan konsensus
politik. Di dalam sistem persekolahan, pendidikan dapat merangsang
tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan anak didik. Mereka adalah bagian
integral sebagai warga bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang
berlainan. Di Indonesia, sarana paling efektif untuk memperkuat
integrasi sosial politik adalah, antara lain, melalui mata pelajaran
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
merupakan warisan paling berharga dari para tokoh pergerakan nasional,
seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum kemerdekaan. Karena kesadaran
menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kongres Pemuda para
pelopor gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku Jawa, justru
lebih memilih bahasa Indonesia (yang berinduk dari Bahasa Melayu), dan
bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional.
Alasan-alasan
yang dikemukakan tersebut sesungguhnya sejalan dengan pandangan dan
pemikiran para filosof sosial klasik, seperti Emile Durkheim, Jean
Jacques Rousseau, Johann Pesta-lozzi, atau John Dewey. Para pemikir
klasik itu bahkan menulis khusus mengenai tema-tema penting di bidang
pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir
generasi selanjutnya. Tema-tema penting itu, antara lain, mengenai
pendidikan moral, pendidikan dan tanggung jawab sosial, pendidikan dan
demokrasi, pendidikan dan pembangunan masyarakat berpengetahuan. Para
pemikir klasik itu pada dasarnya meyakini bahwa pendidikan merupakan
bentuk strategi kebudayaan yang paling efektif untuk membangun tatanan
sosial dari mewujudkan masyarakat yang baik serta membangun peradaban
umat manusia selaras dengan cita-cita kemanusiaan paling asasi.
- Mencintai anak.
Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak. Guru
menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan
mendorong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan
yang penuh cina adalah dengan senyum, sering tanpak bahagia dan
menyenangkan dan pandangan hidupnya positif.
- Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi anak. Guru harus bisa digugu dan ditiru
oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di hadapan anak
harus benar dari sisi apa saja: keilmuan, moral, agama, budaya. Cara
penyampaiannya pun harus “menyenangkan” dan beradab. Ia pun harus
bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk, lebih-lebih angkuh.
Anak senantiasa mengamati perilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
- Mencintai pekerjaan guru.
Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap
tahun ajaran baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan
baru. Guru yang hebat tidak akan merasa bosan dan terbebani. Guru yang
hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu, memahami kemampuan
akademisnya, kepribadiannya, kebiasannya dan kebiasaan belajarnya.
- Luwes dan mudah berdaptasi dengan perubahan.
Guru harus terbuka dengan teknik mengajar baru, membuang rasa sombong
dan selalu mencari ilmu. Ketika masuk ke kelas, guru harus dengan
pikiran terbuka dan tidak ragu mengevaluasi gaya mengajarnya sendiri,
dan siap berubah jika diperlukan.
- Tidak pernah berhenti belajar. Dalam rangka meningkatkan profesionaitasnya, guru harus
selalu belajar dan belajar. Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang
studinya dan mengakses informasi aktual tidak boleh ditinggalkan.
Apabila
ciri-ciri tersebut dimiliki oleh guru – alih-alih disebut sebagai guru
yang berkarakter, tentu keresahan di dunia pendidikan tidak akan
terjadi. Keresahan yang yang
paling menonjol akhir-akhir ini adalah kekerasan guru terhadap siswa.
Sekedar contoh, yang masih di ingatan kita, adalah kasus seorang guru
yang menendang siswanya hingga gegar otak, kasus seorang guru yang
memukuli satu per satu siswanya yang terlambat masuk kelas, dan kasus
seorang guru yang menampar pipi siswanya hingga membiru hanya kerana
tidak mengumulkan PR. Mengapa demikian? Beban tugas guru yang berat, kesejahteraan yang belum baik, dan rendahnya "kecerdasan" emosional merupakan
salah satu sebab mengapa guru bisa berbuat khilaf dengan jalan
menebarkan aroma kekerasan di dalam kelas. Pada sisi lain, pengaruh
gaya hidup TV, rendahnya perhatian orangtua terhadap kelakuan dan sopan
santun anaknya, perilaku konsumtifisme, narkoba, minuman keras, dan
perilaku ”ngoboy” lainnya, merupakan sederetan sebab mengapa para
siswa zaman sekarang juga susah di atur. Dua sisi yang sangat ekstrem
dari si guru dan siswa tersebut jika bertemu, tentu akan terjadi
ketidakharmonisan, bahkan benturan yang tidak menyedapkan.
______________. 1987. “Character development in the family.“ Dalam Ryan, K. & McLean, G.F. Character Development in Schools and Beyond. New York: Praeger.
Raka, Gedhe. 1997. “Pendidikan Membangun Karakter.” Bandung. Makalah Tidak dipublikasikan.