Monday 9 July 2012

Pendidikan Karakter: Apa, Mengapa, dan Bagaimana


Dalam acara temu wicara siswa SMK/SMA se-Bekasi di SMA negeri 1 Bekasi, Men­diknas Muhammad Nuh menegaskan bahwa pendidikan karakter itu ibarat basis bilangan dalam matematika. "Berusahalah bagaimana mengubah dari angka 1/2 menjadi 2," ung­kap­nya lebih lanjut. Bagaimana caranya? "Angkat setengah (1/2) jika dipangkatkan dengan angka yang semakin besar, maka hasilnya makin kecil. Sebaliknya, jika angka 2 dipangkat­kan, semakin besar pangkat maka semakin besar juga hasilnya," ungkap Nuh. Hal itu me­nan­dakan bahwa yang perlu ditingkatkan bukan pangkatnya, melainkan basis bilangannya. Menurutnya, hal itu sama dengan filosofi hidup dalam men­capai kesuksesan. "Jadi, anak-anakku yang perlu ditingkatkan bukan pangkatnya, tapi basis bilangan, yakni karakter pri­ba­dinya," lanjut Nuh lebih lanjut (Media Indonesia, Jumat, 19/3/2010).

Pendidikan sebagai Medium Enkulturasi

Para ahli antropologi mengemukakanbahwa sosialisasi adalah suatu proses sosial melalui manusia sebagai suatu organisme yang hidup dengan manusia lain mem­bangun suatu jalinan sosial dan berinteraksi satu sama lain, untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi, serta mengembangkan relasi sosial di dalam masyarakat. Akulturasi adalah suatu proses perubahan budaya yang lahir melalui relasi sosial antarkelompok masyarakat, yang ditandai oleh pe­nye­­rapan dan pengadopsian suatu kebudayaan baru, yang berkon­sekuensi hilangnya ke­khasan kebudayaan lama. Sementara itu, enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui manusia sebagai makhluk yang bernalar, punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebuda­yaan sekelompok manusia lain.
Instrumen yang relevan untuk menumbuhkan apresiasi atas keanekaragaman bu­daya, antara lain melalui mata pelajaran kesusastraan dan kesenian. Sebab, keduanya me­re­fleksikan dinamika kebudayaan dan menggambarkan kekayaan khazanah budaya dan aneka jenis kesenian di Nusantara. Di sekolah, semua siswa dapat mempelajari kesusas­teraan Melayu, kesusasteraan Jawa, kesusasteraan Bugis-Makassar, atau kesu­sasteraan daerah lain . Mereka juga dapat mempelajari kesenian Aceh, kesenian Mi­nang­kabau, kese­nian Sunda, atau kesenian daerah lain. Dengan mempelajari kesusas­teraan dan kesenian lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat tumbuh kesadaran kolektif sebagai sesa­ma anak bangsa, meskipun mereka mempunyai latar belakang et­nik, budaya, dan agama yang berbeda, sehingga pada akhirnya akan memperkuat kohesi sosial dan integrasi na­sional.
Dalam konteks ini, mata pelajaran yang relevan antara lain pendidikan kewar­gaan (civic education). Dengan pendidikan kevvargaan setiap anak didik dibekali penge­tahuan dan pemahaman bagaimana menjadi warga negara yang baik. Dalam filsafat pendidikan klasik dikemukakan bahwa “the ultimate goal of education is how to fn-cilitnte students to be a good citizens” Di dalam sistem persekolahan, pendidikan meru­pakan aspek yang sa­ngat penting untuk bersosialisasi dan sekaligus menjadi sarana proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai budaya di dalam masyarakat. Pendidikan juga dapat menumbuhkan inovasi kebudayaan, karena sekolah dapat menstimulasi intellectual inquiry dan menum­buh­kan critical thinking yang menjadi basis bagi pengembangan gagasan-gagasan baru. Dalam suasana persekolah­an yang demikian, kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang dinamis.
Ketiga, pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat inte­grasi sosial politik. Para penganut paham struktural-fungsionalis meyakini bahwa melalui proses sosialisasi dan enkulturasi, pendidikan memberi kontribusi besar terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan konsensus politik. Di dalam sistem persekolahan, pendi­dikan dapat me­rangsang tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan anak didik. Mereka adalah bagian inte­gral sebagai warga bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang berlainan. Di Indonesia, sa­rana paling efektif untuk memper­kuat integrasi sosial politik adalah, antara lain, melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan warisan paling ber­harga dari para tokoh pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum kemerdekaan. Karena kesadaran menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kong­res Pemuda para pelo­por gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku Jawa, justru lebih memilih ba­hasa Indonesia (yang berinduk dari Bahasa Melayu), dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional.
Alasan-alasan yang dikemukakan tersebut sesungguhnya sejalan dengan pan­dang­an dan pemikiran para filosof sosial klasik, seperti Emile Durkheim, Jean Jacques Rousseau, Johann Pesta-lozzi, atau John Dewey. Para pemikir klasik itu bahkan menulis khusus me­nge­nai tema-tema penting di bidang pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir generasi selanjutnya. Tema-tema penting itu, antara lain, mengenai pen­didikan moral, pendidikan dan tanggung jawab sosial, pendidikan dan demokrasi, pendidik­an dan pembangunan masyarakat berpengetahuan. Para pemikir klasik itu pada dasarnya meyakini bahwa pendidikan merupakan bentuk strategi kebu­dayaan yang paling efektif untuk membangun tatanan sosial dari mewujudkan masya­rakat yang baik serta memba­ngun peradaban umat manusia selaras dengan cita-cita kemanusiaan paling asasi.
  1. Mencintai anak. Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak. Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendo­rong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cin­a adalah dengan senyum, sering tanpak bahagia dan menyenangkan dan pandangan hidupnya positif.
  2. Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi anak. Guru harus bisa digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di hadapan anak harus benar dari sisi apa saja: keilmuan, moral, agama, budaya. Cara penyampaian­nya pun harus “menyenangkan” dan beradab. Ia pun harus bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk, lebih-lebih angkuh. Anak senantiasa mengamati perilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
  3. Mencintai  pekerjaan guru. Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang hebat tidak akan merasa bosan dan terbebani. Gu­ru yang hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu, memahami kemam­puan akademisnya, kepribadiannya, kebiasannya dan kebiasaan belajarnya.
  4. Luwes dan mudah berdaptasi dengan perubahan. Guru harus terbuka dengan tek­nik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu mencari ilmu. Ketika masuk ke kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak ragu mengevaluasi gaya meng­ajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
  5. Tidak pernah berhenti belajar. Dalam rangka meningkatkan profesionaitasnya, gu­ru harus selalu belajar dan belajar. Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang studinya dan mengakses informasi aktual tidak boleh ditinggalkan.  
­­­­­­­­______________. 1987. Character development in the family.Dalam Ryan, K. & McLean, G.F. Character Development in Schools and Beyond. New York: Praeger.
Raka, Gedhe. 1997. “Pendidikan Membangun Karakter.” Bandung. Makalah Tidak dipubli­ka­sikan.